Suku Bima atau Dou Mbojo, adalah suku yang terdapat di kota Bima dan kabupaten Bima. Populasi suku Bima diperkirakan lebih dari 500.000 orang.
Suku Bima bermukim di daerah dataran rendah, yang berada dalam wilayah kabupaten Bima, Dongo dan Sangiang. Kondisi alam pemukiman suku Bima berbeda-beda, di daerah utara tanahnya sangat subur, sedangkan sebelah selatan tanahnya gundul dan tidak subur. Masyarakat Suku Bima kebanyakan bermukim dekat pesisir pantai. Suku Bima kadang disebut juga sebagai suku "Oma" (berpindah-pindah) karena kebiasaan hidup mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Suku Bima masih memiliki hubungan kerabat dengan suku Sasak yang tinggal di pulau Lombok di provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam keseharian suku Bima berbicara dalam bahasa Bima yang disebut juga sebagai bahasa Nggahi Mbojo. Bahasa Bima terdiri dari beberapa dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan
Sangiang. Bahasa Bima ini adalah cabang dari rumpun bahasa Malayo-Polynesian.
Dalam cerita sejarah rakyat Suku Bima, dahulu suku Bima memiliki 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh para Ncuhi sebagai Raja Bima pertama. Namun Sang Bima langsung mengangkat anaknya sebagai raja dan beliau kembali lagi ke Jawa dan menyuruh 2 anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, bahasa halus di Bima yang kadang-kadang dipakai oleh masyarakat suku Bima, mirip dengan bahasa Jawa Kuna.
Pada masa lalu Suku Bima dalam bidang pertanian sempat menjadi salah satu anggota dari segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.
Suku Bima terkenal dengan kudanya yang kecil tetapi kuat. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah dibawa ke pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakan kuda.
Perkampungan orang Bima disebut sebagai Kampo atau Kampe yang dipimpin oleh kepala desa yang disebut ncuhi, ompu, atau gelarang. Kepala desa dibantu oleh golongan kerabat yang tua dan dihormati. Kepemimpinan diwariskan turun temurun di antara keturunan nenek moyang pendiri desa.
Dahulu, pada awal berdirinya sekolah di pemukiman suku Bima ini, sekolah dianggap sebagai perusak adat. Tapi saat ini banyak anak-anak disekolahkan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, mereka cenderung beranggapan segala yang berasal dari luar itu baik, terutama yang menyangkut kebudayaan dan teknologi. Cara hidup dan berpikir masyarakat suku Bima sudah mengikuti pola modern.
Suku Bima memiliki rumah adat yang unik, tidak kalah dengan rumah adat suku Toraja, Batak dan suku Wae Rebo. Rumah adat suku Bima bernama "Uma Lengge", memiliki struktur rumah terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang, konstruksi bangunan ini adalah tahan gempa dan angin, dengan kata lain adalah sangat kokoh.
Suku Bima memiliki agama kepercayaan asli, yaitu "Pare no bongi, yaoti" kepercayaan terhadap roh nenek moyang). Saat ini sebagian besar masyarakat suku Bima memeluk Islam. Tapi dalam keseharian masyarakat suku Bima masih mempercayai hal-hal gaib dan roh-roh yang ada di sekitar mereka. Mereka mempercayai tentang Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar dan sebagai penguasa. Lalu Batara Guru, Idadari Sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh jin yang tinggal di pohon dan di gunung yang sangat besar dan berkuasa mendatangkan penyakit, bencana dan lain-lain. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap keramat, Murmas tempat para dewa, gunung Rinjani, tempat tingggal para dewa-dewi. Sebagian masyarakat suku Bima masih mengandalkan dukun untuk menangani kesehatan dan penyakit. Sedangkan sekelompok kecil Suku Bima yang mendiami bagian timur menganut agama Kristen.
Perempuan Suku Bima memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai 'bawahan', bahkan masih ada yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut "rimpu". Rimpu adalah cara perempuan Bima menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut "rimpu mpida".
Mata pencaharian utama suku Bima adalah pada bidang pertanian. Mereka mengelola padi di sawah dan menanam berbagai jenis tanaman di ladang. Selain itu, mereka juga beternak kuda. Kegiatan lain adalah berburu di hutan sekitar pemukiman mereka. Para perempuan membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, serta kerajinan tenun, yang disebut "tembe nggoli" yang sudah terkenal.
0 komentar:
Posting Komentar